Semarang (ANTARA) – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh menegaskan publikasi karya ilmiah dalam jurnal menjadi syarat kelulusan mahasiswa perguruan tinggi termasuk program sarjana.
“Memang kami menerima masukan dan keberatan terkait itu (publikasi karya ilmiah, red.). Kami menangkap berbagai pandangan, baik yang setuju dan tidak,” katanya di Semarang, Rabu (15/2) malam.
Hal itu disampaikannya usai Rapat Koordinasi Terpadu “Penguatan Pelaksanaan Penjaminan Mutu Pendidikan dan Deklarasi Ujian Nasional (UN) Jujur Berprestasi, dan Pendidikan Antikorupsi” di Gedung Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Tengah, Semarang.
Ia menjelaskan, kebijakan publikasi karya ilmiah bagi mahasiswa yang diterapkan pada lulusan setelah Agustus 2012 itu memang dimaksudkan untuk menggenjot budaya menulis di kalangan perguruan tinggi yang selama ini masih sangat minim.
more helpful hints
“Indonesia saat ini memiliki setidaknya 5,3 juta mahasiswa. Dari jumlah (mahasiswa, red.) sebanyak itu, ternyata hasil karya ilmiahnya sedikit. Berarti ada sesuatu yang tidak masuk akal, bagaimana mungkin mahasiswa sebanyak itu hanya menghasilkan sedikit artikel ilmiah,” katanya.
Menurut dia, keprihatinan atas minimnya karya ilmiah mahasiswa, termasuk publikasi di jurnal ilmiah menjadi dasar kebijakan yang dituangkan dalam surat edaran (SE) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) tertanggal 27 Januari 2012.
Perguruan tinggi, kata dia, menghasilkan dua komponen, yakni lulusan (orang) dan karya ilmiah yang tentunya harus dipublikasi agar bisa dibaca semua orang dan menciptakan dialektika keilmuan yang nantinya berimplikasi positif terhadap kualitas perguruan tinggi.
“Semakin banyak jurnal perguruan tinggi yang mempublikasi karya-karya ilmiah mahasiswa berarti semakin bagus perguruan tinggi. Ada negara tertentu yang perguruan tingginya menghasilkan banyak karya ilmiah, Indonesia juga harus bisa,” katanya.
Artikel atau karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal, kata dia, merupakan rangkuman dari apa yang dibahas dalam skripsi atau tugas akhir mahasiswa sehingga tidak sulit untuk melakukannya, apalagi jika nantinya penulisan dan publikasi karya ilmiah sudah menjadi tradisi akademik di Indonesia.
“Mahasiswa menempuh pendidikan program strata 1 (S1) selama empat tahun, `masak` tidak bisa menulis artikel atau karya ilmiah. Kalau sudah jadi (karya ilmiah, red.) tinggal memasukkannya dalam jurnal, boleh yang bersifat `hardcopy` atau jurnal `online`,” katanya.
Ditanya langkah yang dilakukan jika ada perguruan tinggi yang tidak mau menerapkan kebijakan itu, ia mengatakan tidak masalah karena nanti terlihat perguruan tinggi yang menerapkan dan tidak menerapkannya.
“Mereka (perguruan tinggi, red.) yang belum menerapkan tentunya akan sungkan. Yang lain saja sudah menerapkan, perguruan tinggi sendiri belum. Namun, tetap ada sanksinya,” kata Nuh tanpa menjelaskan sanksi yang dimaksud. (rr)